POLITICAL AND CONFESSIONALISM SYSTEM IN CONSTITUTION OF LEBANON ( SISTEM POLITIK DAN KONFESIONALISME PADA KONSTITUSI LEBANON )

          Secara geografis, Republik Lebanon adalah sebuah negara yang terletak di kawasan Timur Tengah yang berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah barat, Suriah di sebelah Utara dan Timur, serta Palestina di sebelah Selatan. Menurut data demografis, Lebanon merupakan negara multi-religius, penduduk Lebanon sendiri menganut beragam kepercayaan, seperti Islam yang dianut oleh lebih dari separuh populasi negara tersebut ( 54% ) dengan pembagian yang merata antara penganut Sunni dan Syiah yang masing – masing dianut sekitar 27% dari populasi kelompok muslim serta beberapa penganut sekte lain seperti Druze yang dianut sekitar 5% dari populasi kelompok muslim Lebanon.

            Selain Islam, penduduk Lebanon juga menganut agama Kristen dengan persentase sekitar 40,5% dengan perincian sekitar 21% menganut Katolik Maronit, 8% menganut Ortodoks Yunani, 5% menganut Katolik Melkit, 4% menganut Ortodoks Armenia, 1% menganut Protestan, serta beberapa komunitas kristen lain dengan persentase yang lebih kecil. Selain islam dan Kristen, sebagian kecil penduduk Lebanon juga menganut kepercayaan lain seperti Yahudi dan Baha’i.

            Berdasarkan kenyataan tersebut, tentunya menjadikan suatu komplekstisitas sendiri di dalam perkembangan politik di negara tersebut, yang membagi kekuasaan politik secara adil dan merata terhadap masing – masing penganut agama untuk mendapatkan posisi di dalam pemerintahan di Lebanon, dalam menjawab persoalan tersebutlah, dibentuklah suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Ta’if yang ditandatangi pada tahun 1989 sebagai jalan akhir dari penyelesaian konflik dan perang saudara di Lebanon yang terjadi sejak tahun 1975.

Sistem konfesionalisme sendiri pada mulanya diatur di dalam Pasal 24 Pakta Nasional Lebanon yang disahkan pada tahun 1943 sebagai dasar hukum berdirinya negara ini, Sistem ini sendiri dilaksanakan dengan suatu pembagian secara berimbang terhadap jabatan – jabatan di dalam pemerintahan negara, pembagian tersebut yakni Presiden haruslah dijabat oleh penganut Kristen Maronit, Perdana Menteri haruslah dijabat oleh penganut Islam Sunni, Kepala Parlemen haruslah dijabat  oleh penganut Islam Syi’ah, Wakil Kepala Parlemen haruslah dijabat oleh penganut Kristen Orthodoks, dan kepala – kepala satuan yang masing – masing dijabat oleh penganut Druze.  

Namun pakta ini, tidak mengatur secara jelas mengenai pengalokasian jabatan – jabatan yang akan diisi diisi di dalam parlemen, namun pada praktiknya, digunakanlah rasio 6:5 dalam pembagian kursi untuk setiap anggota parlemen yang diisi oleh masing – masing kalangan Kristen dan Islam, namun setelah diadakannya pembaharuan terhadap sistem konfesionalisme yang berlaku di negara Lebanon secara tertulis dan resmi di dalam Perjanjian Ta’if, rasio pembagian kursi tersebut diubah menjadi 1:1 dengan perincian sebagai berikut ( sumber data: https://en.wikipedia.org/wiki/Parliament_of_Lebanon )

·         Kalangan Kristen ( Total Kursi: 64 kursi )

a.       Katolik Maronit: 34 kursi

b.      Orthodoks Timur: 14 kursi

c.       Katolik Melkit: 8 kursi

d.      Orthodoks Armenia: 5 kursi

e.       Katolik Armenia: 1 kursi

f.       Kristen Protestan: 1 kursi

g.      Denominasi Kristen lainnya: 1 kursi

·         Kalangan Islam ( Total Kursi: 64 kursi )

a.       Islam Sunni: 27 kursi

b.      Islam Syi’ah: 27 kursi

c.       Druze: 8 kursi

d.      Islam Alawit: 2 kursi  

Terdapat pula hal lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan sistem konfesionalisme yang ada di Lebanon, yaitu peran dari lembaga – lembaga politik yang berada di negara tersebut sebagai perwakilan delegatif atau organisasi aspirasi terhadap kalangan - kalangan tertentu, yang dapat digunakan sebagai mobilisator suara di dalam pemilihan parlemen. Lembaga politik ini juga berperan sebagai kendaraan politik suatu kandidat tertentu di dalam pemilihan umum secara sekunder terkait mobilisasi suara.

Sejauh ini partai – partai besar yang berpengaruh di Lebanon umumnya berideologi agama seperti Partai Kataeb sebagai basis politik Kristen dan Hizbullah sebagai basis politik Islam Syi’ah, selain partai agama, terdapat pula partai – partai yang berhaluan lain seperti Pan-Arabisme, Sosialisme, dan Komunisme yang sempat aktif di tahun 1960an.

Selain peran – peran daripada lembaga politik, ahli agama dan beberapa keluarga berpengaruh di Lebanon juga memiliki kedudukan yang kuat di dalam hal mobilisasi massa dalam berafiliasi terhadap suatu gerakan politik tertentu yang bersifat komunal guna memperjuangkan kepentingannya di dalam pemerintahan dan parlemen.

Namun nyatanya, ditemukan adanya suatu disinkronisasi antara sistem konfesionalisme dengan perubahan dataa demografis di Lebanon sendiri, salah satunya adalah syarat untuk menjadi presiden di negara tersebut, saat ini Lebanon adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, namun masih mengacu kepada ketentuan lama pada tahun 1932 ketika sebagian besar penduduk Lebanon beragama Katolik Maronit, yang menjadikan hal tersebut sebagai faktor dari persyaratan untuk menjadi presiden guna mewakili mayoritas penduduk di negara tersebut.

 Seharusnya, apabila persyaratan menjadi presiden disesuaikan dengan data demografis sendiri, maka setiap terjadinya perubahan angka demografis yang menjadikan suatu kelompok agama tertentu sebagai mayoritas baru, maka saat ini, yang berhak untuk menjadi presiden di Lebanon sendiri adalah penganut agama Islam.

Permasalahan lain juga ditemukan dari penerapan sistem konfesionalisme ini, yaitu adanya segrerasi di dalam hal pendidikan di Lebanon dimana konstitusi negara ini memberikan suatu hak otonomi bagi kelompok – kelompok dalam mengurusi pendidikan bagi penganut agama nya masing – masing. Segrerasi ini dapat menyebabkan kesulitan dalam hal pembangunan pendidikan di negara Lebanon dengan tidak adanya upaya unifikasi terhadap pemberlakuan kebijakan pendidikan secara terpusat dan berlaku bagi semua penduduk tanpa memandang afiliasi agama dari penduduk tersebut.

Sejatinya, paham sektarianisme di Lebanon yang diejawantahkan di dalam sistem konfesionalisme negara tersebut, dapat dikatakan sebagai solusi sekaligus ancaman baru bagi negara ini, adalah sebagai solusi dalam mengatasi diferensiasi agama dalam suatu kebijakan politik yang proposional dan adalah sebagai ancaman bagi perkembangan negara ini menuju negara yang menjunjung tinggi persatuan dan pluralisme.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NATIONAL COUNCIL OF DISABILITY: A FORGOTTEN MANDATE OF LAW ( KOMISI NASIONAL DISABILITAS: SEBUAH MANDAT UNDANG – UNDANG YANG TERLUPAKAN )

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Menurut Perspektif Hukum Sengketa Internasional

Hachi-ko: Pelajaran Berharga