TRADISI BAGI – BAGI KURSI: IBADAH PENGANUT POLITIK NEPOTISME DAN KRONI – KRONI NYA
Menurut Laswell, politik adalah kaidah seputar
“siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. Dalam definisi singkat
tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa politik menyangkut siapa –
siapa saja yang mengincar suatu objek tertentu, di waktu dan cara yang sudah
ditentukan, termasuk pada tatanan strategi dan dukungan. Pada tingkatan
mahasiswa, politik tersebut bertransformasi ke dalam praktik – praktik polarisasi
kekuatan antara sendi – sendi kehidupan mahasiswa yang akademis.
Namun faktanya, polarisasi kekuatan yang ada, tidak hanya mempertimbangkan aspek akademis saja, namun merambah ke ranah – ranah organisasi ekstrakampus, kedekatan sedarah, persahabatan antar putra – putra daerah, hingga indoktrinasi para senior terdahulu untuk melanggengkan suatu sistem dinasti yang dirancang sedemikian rupa terhadap adik – adik juniornya yang terlebih dahulu sudah dicekoki manifesto politik berdasarkan kepentingan golongannya.
Manifesto ini, melahirkan suatu bentuk nepotisme baru, walaupun menurut ketentuan hukumnya, jabatan – jabatan politis di kampus harus didahului terlebih dahulu dengan dilaksanakannya pemilihan umum oleh mahasiswa, tetapi jalan akhir bagi setiap hasil suara, menjadi pijakan awal bagi tumbuh suburnya kroni – kroni politik baru yang menyembah nepotisme.
Pada hari ini, telah terjadi praktik secara terselubung dari nepotisme kampus itu, yang secara umum dapat diistilahkan sebagai tradisi bagi – bagi kursi, di Universitas Jambi, lebih spesifik lagi pada tatanan BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi masa khidmat 2020/2021. Praktik terselubung ini kemudian menyembur keluar, terbongkar oleh pengakuan salah satu mahasiswa yang pada awalnya direkrut berdasarkan profesionalisme nya untuk menjadi bagian dari BPH BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi, menjadi inti dari kepengurusan badan yang mengurusi kepentingan dan hajat hidup mahasiswa, namun di tengah jalan, mahasiswa berinisial A ini, harus menelan pil pahit, tatkala disingkirkan secara politis demi menyelamatkan praktik bagi – bagi kursi yang sudah direncanakan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah dipilih.
Mahasiswa A, memang dinilai sebagai pribadi yang akademis dan tidak memiliki afiliasi politik manapun, sehingga dapat bebas menurut independensitasnya, untuk mengkritisi dan mengoreksi langkah – langkah BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi, demi terwujudnya BEM yang mengedepankan profesionalitas dan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan mahasiswa dan almamater.
Di dalam kasus ini, mahasiswa A mendapatkan penuturan yang secara tidak langsung didapatkannya dari Wakil Gubernur BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang menyatakan bahwa penyingkiran mahasiswa A dikarenakan bahwa mahasiswa A dinilai dapat membuat riuh dan gaduh BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi, padahal kenyataannya, yang dilakukan oleh mahasiswa A, hanya berselisih paham dengan salah satu Kepala Departemen di Kabinet BEM, yang mempraktikkan secara terang – terangan praktik nepotisme di dalam merekrut anggota – anggota departemen yang dikomandoinya, proses rekrutmen berlangsung kacau dan tanpa pertimbangan pada tim seleksi, dimana Kepala Departemen yang telah mendapatkan restu dari Wakil Gubernur, merekrut mahasiswa – mahasiswa yang bahkan tidak terdaftar di dalam seleksi administrasi rekrutmen BEM Fakultas Hukum Universitas Jambi 2020/2021.
Lebih lanjut, Kepala Departemen tersebut meloloskan peserta yang juga telah mendapat backingan yang kuat oleh petinggi – petinggi BEM yang ada dan membuang mahasiswa – mahasiswa lain yang jauh lebih berkualitas dari segi akademis, gagasan, hingga pengalaman organisasi.
Pada kasus ini, penulis mengajak seluruh pembaca, untuk kembali menilai secara seksama, tentang tradisi bagi – bagi kursi yang terjadi di tempat yang seharusnya menjadi cikal bakal lahirnya manusia – manusia yang seharusnya dapat menjadi pengayom dari aspirasi masyarakat melalui profesionalitas dan independensitasnya, bukan malah membangkitkan api nepotisme baru, seolah - olah kampus menjadi pabrikan penerus dinasti politik yang telah dipolarisasi secara licik oleh orang – orang yang hanya mengejar kepentingan, jabatan, dan kekuasaan semata
Membuang orang - orang profesional demi menyelamatkan kepentingan politik adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap terwujudnya birokrasi yang dewasa, jujur, dan public oriented
-Anonim-
Mantap abngda ku
BalasHapusTerima kasih adinda fariz
BalasHapus